Keadaan dan sikap tidak memihak atau disebut netralitas kali ini dilekatkan pada mereka yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) saat-saat mendekati masa pilkada (pemilihan kepala daerah).
Seperti yang kita ketahui bahwa ASN, TNI dan Polri adalah mereka yang memiliki keterikatan aturan pada masing-masing Instansinya agar tidak terlibat dalam dunia politik praktis karena dianggap mengganggu dan keikutsertaannya dapat melemahkan kualitas demokrasi (pilkada) itu sendiri.
Lah kok mengganggu? Sebab ASN, TNI dan Polri adalah Lembaga yang harus menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi para anggotanya sehingga ketidaknetralan dalam pilkada adalah hal yang tabu (dilarang). Namun jika Anggota ketiga Lembaga ini berniat untuk terjun ke dunia politik (pilkada) maka Ia harus terlebih dahulu menanggalkan ikatan Instansinya sebagai ASN, TNI dan Polri sesuai aturan undang-undang.
Di lain sisi pula alasan mengapa ASN, TNI dan Polri harus netral alias tidak ikut memilih dan dipilih dalam pilkada sebab menurut Penulis bahwa tiga Lembaga ini memiliki relasi (hubungan) yang luas sehingga memungkinkan bila nantinya pada pilkada pihak kandidat yang didukung kalah lalu ia tidak menerima hasil perhitungan suara maka dikhawatirkan (ASN/TNI/Polri) yamg mendukung ini mengerahkan mobilisasi (relasi) untuk melakukan reaksi dan pada akhirnya akan chaos (kacau). Pilkada pun dianggap tidak aman dan kondusif.
Keharusan sikap netral bagi ASN, TNI dan Polri bukan tanpa alasan! Ya karena hal ini telah menjadi amanah Reformasi yang di atur dalam TAP MPR RI no. Vll tahun 2000 tentang peran (ASN) TNI dan Polri.
Pesta demokrasi yang nantinya di laksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia termasuk di kabupaten Bulukumba pada akhir tahun 2020 tepatnya pada tanggal 9 Desember diharapkan berjalan dengan aman dan kondusif.
Meski pun hal tersebut menjadi momentum yang tak biasa dari sebelumnya sebab pilkada kali ini di implementasikan di tengah pandemi Covid-19. Olehnya itu secara otomatis ketika pilkada dilaksanakan nantinya lalu sedikit saja kelalaian seperti tidak mematuhi protokol kesehatan yang dilakukan maka potensi penyebaran Corona semakin besar sehingga pilkada tahun ini berisiko pada keselamatan masyarakat sebagai pemilih.
Kita kembali lagi pada netralitas ASN, TNI dan Polri. Ketiga Instansi inilah masing-masing punya ketetapan tersendiri dalam sikap netralitasnya pada pilkada. Seperti sikap netral ASN yang diatur dalam pasal 9 ayat 2 undang-undang no. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bahwa, "Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik".
Kemudian aturan dari TNI yang termaktub dalam pasal 39 ayat 2 undang-undang no. 34 tahun 2004 tentang TNI yaitu "prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis".
Begitupun sikap netral dari Polri yang diatur dalam regulasi pasal 28 undang-undang no. 2 tahun 2002 tentang Polri, bahwa "Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis serta tidak menggunakan hak memilih dan dipilih".
Itulah beberapa peraturan yang diperuntukkan kepada para anggota masing-masing Institusi ASN, TNI dan Polri untuk tidak ikut serta dalam proses memilih dan dipilih pada pilkada alias bersikap netral.
Kendati pun bila kita amati bahwa masih ada bahkan banyak pula diantaranya yang melanggar asas netralnya. Diketahui saat ini (09/07/20) data dari Bawaslu bahwa terdapat sebanyak 415 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN dengan pelbagai macam pelanggaran. Tercatat ada 46 kasus dihentikan, 3 yang di proses dan 366 kasus direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Adapun beberapa jenis pelanggaran ASN tidak netral yang terindikasi oleh Bawaslu yaitu menyosialisasikan bakal calon melalui alat peraga kampanye (APK), mempromosikan diri dan orang lain, mendampingi bakal calon untuk melakukan pendaftaran dan fit and proper test (uji kelayakan), menghadiri kegiatan salah satu calon, dan mendukung secara langsung calon politiknya, pelanggaran dengan memberi sosialisasi dimedsos (media sosial), dan ditemukan pula pelaku ASN melakukan pendekatan dan pendaftaran diri pada partai politik yang seharusnya hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Demikian beberapa kasus pelanggaran netralitas ASN. Mencermati persoalan di atas menunjukkan bahwa di negara kita rupanya masih terjadi kerawanan pelanggaran netralitas lebih terkhusus ASN. ini menjadi tantangan untuk Bawaslu memperhatikan masalah ini.
Menurut penulis ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai solusi terhadap problem di atas. Yang pertama Bawaslu perlu membuat sebuah tim penggerak untuk sedini mungkin memperkenalkan atau menyosialisasikan pada masyarakat umum siapa saja yang harus bersikap netral dalam pilkada seperti ASN, TNI dan Polri serta menjelaskan mengapa ia harus bersikap netral.
Solusi yang kedua: Bawaslu memasifkan website atau hotline pengaduan masyarakat teruntuk khusus dugaan pelanggaran netralitas ASN, TNI dan Polri dan tentu pada akhirnya Bawaslu menindaklanjuti dengan tegas oknum dari hasil pengaduan masyarakat tersebut.
Yang ketiga: memperketat pengawasan netralitas para ASN, TNI dan Polri dengan cara menambah partisipan pengawas di setiap lokasi TPS.
Dan yang terakhir yaitu memberikan peluang atau ruang kepada masyarakat umum untuk menyampaikan saran/masukan yang membangun demi keamanan, kondusif dan kualitas demokrasi pada pilkada tahun 2020.
Biodata penulis.
Abdullah, lahir di Bulukumba pada tanggal 31 Desember 1999. Alamat jl. Abd. Jabbar, Ujung Bulu, Bulukumba. Saat ini berstatus sebagai Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum, fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar. Berorganisasi di IPNU-IPPNU Bulukumba, PMII cabang Gowa dan saat ini mengikuti TOWR VII forum lingkar pena ranting UIN Alauddin Makassar. Nomor hp/wa: 082349611921.