Negara Penjaga Malam : Refleksi atas Ketaksiapan Negara dalam Menyejahterakan Rakyatnya
Terbentuknya suatu negara bagaimanapun itu tentunya demi untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal ini, negara diharapkan agar bersifat aktif dalam menjalankan perannya untuk mendistribusikan setiap hak rakyat melalui institusi-institusinya. Sejalan dengan itu, dalam konsep negara modern kita mengenal istilah walfare state atau negara kesejahteraan. Konsep tersebut muncul pada abad ke-20 atas paham demokrasi konstitusional yang berupaya mengusung konsep negara hukum yang tidak sekedar formil namun juga memerhatikan persoalan materil. Setiap negara yang menganut konsep tersebut memiliki kebijakan publik yang bersifat pelayanan, bantuan, pendidikan, perlindungan, dan pencegahan pada masalah sosial dengan tujuan untuk mengurangi penderitaan rakyat seperti kemiskinan, pengangguran, gangguan kesehatan, dan berbagai hal lainnya.
Lahirnya konsep walfare state sebetulnya merupakan sebuah antitesa terhadap propaganda kapitalisme klasik dalam bidang ekonomi yakni “laissez-faire laissez-passer” yang berupaya untuk melucuti keterlibatan negara dalam kehidupan ekonomi masyarakat juga terhadap prinsip staatsonthounding yaitu pembatasan peranan negara dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil “the least goverment is the best goverment”. Oleh karena pembatasan dan pelucutan tersebut pada akhirnya negara menjadi pasif dan menjadi sesuatu yang kita sebut sebagai nachtwachtersstaat atau negara penjaga malam yang sebatas menjadi negara hukum formal. Ketakberdayaan negara dalam kondisi tersebut membuatnya gagal dalam mengatasi ketimpangan sosial, negara yang diharapkan memiliki kuasa dalam menginisiasi kesejahteraan rakyat melalui kebijakannya justru menjadi kacung penjaga kapitalis.
Atas kegagalan itulah desakan untuk melakukan transformasi dengan mengembalikan taring negara agar turut terlibat dalam mengatur baik dari segi ekonomi, politik, dan segala hal yang menyangkut kepentingan rakyat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bersama dimungkinkan. Kebebasan negara untuk dapat melakukan intervensi melalui kebijakannya selama sejalan untuk kesejahteraan bersama itulah yang kita sebut sebagai freies ermessen. Adapun menurut Habermas, transformasi tersebut justru merupakan peralihan dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme lanjut yang ia sebut sebagai state regulated capitalism ditandai dengan dua fenomena yang salah satunya ialah masuknya intervensi negara dalam pasar. Baginya, upaya intervensi negara tersebut dapat dilegitimasi melalui repolitisasi massa dalam sistem demokrasi formal.
Untuk lebih mendalami terkait konsep nachtwachtersstaat atau negara penjaga malam, sebuah kutipan narasi yang disampaikan oleh Sujiwo Tejo dalam forum TEDx mungkin dapat menjadi gambaran sederhana. Dalam forum tersebut Sujiwo Tejo tengah membahas terkait matematika sebagai suatu logika hingga tiba pada suatu narasi yang menceritakan pengalamannya dalam berdebat dengan ahli hukum terkait dirinya yang termasuk sebagai orang yang menolak pemakaian helm. Dalam perdebatan yang ia ceritakan tersebut ia mempertanyakan alasan dari penggunaan helm yang dijawab oleh ahli hukum bahwa instruksi tersebut tidak lain demi meminimalisasi kemungkinan gegar otak hingga meninggal akibat kecelakaan. Tak puas dengan jawaban itu Sujiwo Tejo pun lanjut mempertanyakan:
“...memangnya kalau hidup negara ngasih kerjaan? memang kalau hidup negara ngasih pelayanan kesehatan?...”
Narasi yang disampaikan Sujiwo Tejo tersebut kiranya dapat menjadi bahan refleksi bagi kita bagaimana urgensi untuk segera melakukan transisi dari sekedar konsep negara hukum formil menuju konsep negara hukum yang juga mengedepankan persoalan materil atau substansial. Di samping itu, Sujiwo Tejo yang bahkan hidup pada era kini dimana pemikiran tentang walfare state telah mengalami perkembangan pun masih mempertanyakan perwujudan nyata dari walfare state. Hal tersebut tentunya menjadi peringatan bagaimana konsep negara kesejahteraan atau walfare state yang masih belum dapat diimplementasikan secara utuh. Atas hal tersebut kita kemudian seolah dituntun untuk kembali bertanya, akankah ide menyejahterakan rakyat terkhusus melalui konsep walfare state dapat direalisasikan secara utuh atau pada akhirnya hanya menjadi sebuah imajinasi kolektif belaka? Kalaupun ide tersebut dapat dipaksa untuk direalisasikan, mungkinkah ia tidak akan menjadi sekedar seremonial?
__________________________________________
Soehino, Ilmu Negara,
Cetakan ke-9, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2013), hal. 148.
Hadiyono, Venatius. "Indonesia dalam Menjawab Konsep Negara Welfare
State dan Tantangannya." Jurnal
Hukum, Politik Dan Kekuasaan 1 (2020).
Syahnaz, Aniken Yustisia. "Korelasi Negara Kesejahteraan Dengan
Demokratisasi Kehidupan Masyarakat sebagai Wujud Negara Paripurna." Spektrum Hukum 18.1 (2021).
Srilaksmi, Ni Ketut Tri. "Fungsi Kebijakan Dalam Negara
Hukum." Pariksa: Jurnal Hukum Agama
Hindu 4.1 (2020): 30-38.
Nur
Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Ideologi
Dunia, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015). hal 14-15
https://youtu.be/Y6FDTbfkHjs?si=XApODQj6zgotYQFN diakses pada hari selasa 1 Oktober 2024 pukul 10.45 wita.